Chapter Text
ada yang menarik dari melihat seseorang dengan kepala yang sejajar kabinet dapurnya bergerak kikuk di antara meja-meja di sana, sambil berusaha menata ulang makanan di dalam kotak bingkisan kantor jadi hidangan yang romantis.
pada hari biasa, hal pertama yang akan diperhatikan zayne adalah tumpahan anggur di dekat bak cuci piring. ia akan memulai percakapan dengan hardikan ringan yang kemudian akan dibalas dengan gurauan yang sama halusnya.
hari ini, matanya jatuh pada kedua lengan sylus di bawah lipatan kemeja yang digulung asal.
tanpa banyak bicara, zayne memilih untuk duduk di ruang makan. ia alihkan pandangannya ke gelas-gelas kaca yang sudah ditata di atas meja, keduanya tampung sedikit anggur yang sudah dituang sempurna. warna gelapnya sama dengan pakaian sylus malam itu.
hingga sebuah piring dengan makanan seadanya juga isi sudut pandang zayne. beberapa buah kentang yang dipanggang dengan minyak olive, dada ayam dengan kulit yang terbakar sempurna, serta setumpuk sayur yang harum semerbak; makanan khas sebuah kedai kecil di dekat rumah sakit akso. hampir serupa dengan jatahnya tadi siang yang hanya ia ambil sepertiga dari porsi biasanya.
sensasi hangat menjalar ke telinga zayne saat lihat barisan sayur yang dipanggang hingga wangi itu kehilangan warna oranye di antaranya. digantikan dengan brokoli yang jumlahnya jadi dua kali lipat dari pesanan biasanya. disembunyikan sedemikian rupa di antara saus rasa bawang putih, tapi tetap tidak luput dari pengamatan zayne.
"kita makan ini dulu, dan aku akan ambil potongan kuenya nanti, oke?" kata sylus setelah menghidangkan piring di hadapannya, buyarkan lamunan zayne yang sedang menelisik makan malamnya.
yang tidak zayne tebak, setelah kata-kata itu terucap, sylus juga sisakan jeda untuk biarkan tangan hangatnya bertahan lebih lama di atas pundak zayne.
dua, tiga, empat ketukan. jari sylus seolah membangun jalur yang ia hafal betul arahnya, berhenti sejenak di lengan zayne yang dibalut sweater tebal, sebelum rasa hangat itu bergerak menjauh darinya.
gestur kecil yang sukses buat seluruh neuron zayne berhenti bekerja tanpa dia minta. dia ingin kursi ruang makan ini telannya hidup-hidup, juga ingin sembunyikan kepalanya di atas meja kaca di depannya, tapi ia juga ingin lari dan kembali bersembunyi di balik kamar utama yang sylus tahu betul kode keamanannya. zayne tidak tahu hati atau otaknya yang berbicara untuk lakukan semuanya.
tapi tidak ada dunia yang runtuh malam itu.
sylus hanya duduk di kursinya, di balik sepiring olahan dada ayam dengan wortel panggang yang terlalu banyak di antara saus krim di sana.
selain komentar-komentar singkat bahwa makanan itu lebih baik dari tampilannya, tidak ada lagi pembicaraan yang bisa zayne balas. ada topik yang diulur untuk dibahas, dan zayne sedikit bersyukur bahwa sylus punya kontrol yang baik atas kesabarannya.
suara decit kaki kursi terdengar nyaring di antara makan malam mereka yang meskipun tidak sunyi, terasa asing.
sylus berdiri dari tempat duduk dengan sebuah gelas di tangan kirinya. "aku akan ambil air minum," katanya pelan, sambil melangkah menuju dapur.
zayne menghela napas yang ia tahan. lima tahun ia kenal sylus qin, tidak sulit untuk zayne melihat ada yang salah dari gerak-geriknya yang dibuat tanpa cela. dari jemari sylus yang genggam gelas itu sedikit lebih erat, atau air mukanya yang menatap zayne penuh harap; persis sylus yang setengah mati menahan diri untuk tidak biarkan ucapannya mengalir bebas.
jadi zayne ikut berdiri. meninggalkan makanannya yang baru hilang setengah. melangkah pelan tapi pasti menuju dapur dimana sylus melamun di depan kulkas, keran air otomatis dibiarkan menyala meskipun tidak ada air dingin yang penuhi gelasnya.
"maaf," ucap zayne, akhirnya buka suara.
satu kata yang dengan cepat buat sylus menoleh ke arahnya. warna rubi di matanya terlihat lebih jelas saat ekspresi sylus berubah terkejut. ada getir yang terlintas di sana, jadikan rasa bersalah yang dua bulan ini bergelut di perut zayne makin buatnya ingin keluarkan kembali menu makan malam tadi.
"aku lupa bilang. aku belum sempat isi ulang air minum di kulkas," lanjut zayne.
setelah jeda sekian detik yang cukup buat situasi ini terdengar konyol, sylus menutup matanya sambil menarik napas. ia terkekeh pelan dan menekan tombol merah untuk hentikan mesin itu mengerjakan hal yang tidak ada gunanya. sia-sia seperti habiskan satu minggu untuk siapkan lamaran paling mengenaskan sepanjang masa, dimana pemeran utamanya hanya dibalas dengan diam. tapi sylus tidak akan tahu bagaimana rasanya.
karena dua bulan lalu, zayne tidak balas lamarannya dengan diam.
dua bulan lalu, zayne balas pertanyaan sylus dengan permintaan maaf. satu kata yang luluh lantahkan hatinya dengan sempurna.
sampai sekarang, dengan zayne versi bulan desember di hadapannya, sylus kadang masih berharap bahwa saat itu ia hanya salah dengar. karena sakit yang ia rasakan sejak hari itu hanya bisa dikubur dengan hilang ingatan, sesuatu yang sama sekali tidak terjadi selama dua bulan terakhir. sylus qin, orang paling berkuasa di dunianya, hanya bisa lanjutkan hidup dengan cintanya yang diinjak-injak kenyataan bahwa zayne tidak pernah terima cincin yang masih ia simpan di laci sebelah tempat tidur mereka.
saat luke dan kieran mengetahui bahwa hari ini sylus akan berkunjung ke rumah zayne, mereka hanya bisa menatapnya kasihan.
tapi satu hal tentang sylus qin, hancur lebur sekalipun tidak akan buat hatinya lupa bagimana caranya berdansa lebih cepat saat wajah zayne tertarik dalam sebuah senyum simpul. atau bagaimana ia ingin kecup semua tawa kecil yang hanya bisa ia dengar dari kekasihnya.
"aku rindu kita,"
anehnya, sylus tidak tahu siapa yang ucapkan itu. mungkin lidahnya yang bergerak sendiri tanpa sisakan waktu untuk saring isi kepalanya. atau dalam mimpi terindahnya, sylus berhadap zayne yang mengatakan kata-kata tadi. dengan nadanya yang ragu-ragu, dengan mata hijaunya yang terlihat lebih kecoklatan karena tersipu malu.
yang sylus tahu, adalah saat ia yang bergerak untuk hilangkan jarak di antara mereka. bawa jari-jari zayne ke dalam genggamannya. biarkan ada beberapa ruang untuk nafas mereka saling bertukar, sedikit celah agar kedua kening mereka tidak saling berbenturan.
"aku lupa. ada yang dari tadi ingin kutanyakan," ucap sylus. "bagaimana kabarmu?"
pertanyaanya ia sampaikan dengan setengah berbisik, dicampur suaranya yang tercekat rindu. seperti sebuah rahasia yang ia simpan rapat tapi akhirnya dipaksa untuk dibuka juga.
karena dari semua yang berakhir berantakan, putus komunikasi dengan zayne adalah salah satu yang paling buatnya menderita. beralih dari pesan yang datang seperti kabar harian yang tidak pernah sylus lewatkan, menjadi menerka-nerka apa yang terjadi dalam hari zayne, adalah sebuah transisi yang tidak ingin ia jalani dua kali.
"baik," sebuah jawaban dari zayne yang sebenarnya tidak siap sylus dengar.
di ujung kepalanya, mungkin ia ingin dengar bahwa semua langkah yang zayne jalani selama dua bulan ini hanya bawa sensasi nyeri. mungkin ada mahkluk jahat dalam diri sylus yang ingin dengar bahwa zayne sama tersiksanya dengan dirinya, yang hidup enggan dan mati pun tidak sempat.
tapi, itu semua kalah dengan rasa hangat yang gerogoti asam di hatinya. 'baik' adalah hal yang lebih dari cukup. 'baik', mungkin, adalah kabar yang sylus nanti setiap ia tidak bisa tidur karena menimbang apakah ia perlu kirim anak buahnya untuk buntuti zayne tiap hari atau hargai kenginan zayne untuk 'punya waktu sendiri'. (pertanyaan aneh karena sylus selalu menghormati pilihan zayne)
"bagaimana denganmu?"
tidak butuh dua detik untuk sylus menjawab cepat, "sama."
ada senyum miring yang terpatri di wajah sylus saat mengucapkannya. nadanya pahit, sama sekali tidak berusaha untuk tutupi jawaban yang sebenarnya.
"sama denganku?" zayne mendengus.
"persis."
dari bagaimana zayne menatapnya dalam-dalam, sylus tahu ada yang sedang zayne kejar dalam pikiran briliannya. oh, betapa sylus ingin menciumnya saat itu juga.
"greyson bilang aku melamun sepuluh kali dalam sehari," ada kejujuran yang dibiarkan tumpah dari bagaimana suara zayne tersendat. "bagaimana denganmu, sungguh?"
"tidak buruk," balas sylus lelah, tetap dengan semua ketulusan yang dia punya. "kecuali setiap aku kehilanganmu sebelum tidur, atau ketika kamu hilang lagi saat aku bangun."
tangan zayne di genggaman sylus bergerak mundur, seolah ingin pergi dari situasi ini. "tidak seharusnya kamu di sini, sylus," ucap zayne lirih.
tapi jari-jari sylus bergerak lebih cepat untuk menahannya.
"aku menyakitimu waktu itu," lanjut zayne, suaranya yang biasanya tenang juga ikut sedikit retak. "aku masih menyakitimu, aku yakin itu. kamu kasih semua yang bisa diminta oleh seseorang di luar sana, dan aku malah pergi. "
"aku tidak pernah menyalahkanmu,"
sylus tahu kalau ia tidak menahan tangan zayne sekarang, pria di hadapannya sudah berbalik badan. bersembunyi di balik perangai tegar yang ia latih seumur hidupnya. sylus pun tidak bisa menutup mata bahwa satu-satunya alasan kenapa bencana tersebut belum terjadi adalah karena zayne masih berikan izin untuk biarkan sylus mengunci pergerakannya.
karena tidak mendengar balasan dari si lawan bicara, sylus lanjut sampaikan apa yang dua bulan ini penuhi isi kepalanya, "kadang, aku hanya ingin tahu kenapa."
sebelum zayne membalas, sylus semakin eratkan genggamannya.
separuh berdoa, setengah memohon, sepenuhnya ia berbisik dengan penuh harap seolah hanya zayne yang bisa kabulkan permintaannya, "tapi, demi tuhan, aku belajar kalau aku tak butuh kamu untuk menikah denganku. aku hanya ingin kamu, zayne li, untuk tinggal. tetap bersamaku. aku bahkan tidak butuh penjelasanmu hari ini, kita punya seluruh waktu di dunia untuk itu. do not leave me, my heart cannot bear it."
ada jarak yang buat mata mereka bertemu. kata-kata yang sylus ucapkan dengan seluruh hatinya yang dibiarkan terbuka di atas piring saji untuk dipilah, dibiarkan menggantung di udara di antara keduanya.
zayne, dalam diamnya, tidak bisa paksa dirinya untuk tatap sylus lebih lama. hatinya berdebar dengan rasa sakit yang begitu indah, seolah ada jiwa dalam dirinya yang meronta untuk pasrah pada kebenaran bahwa ia juga berharap hal yang sama. bahwa setiap waktu berpisah adalah saat-saat yang sengsara, dan zayne tidak akan sanggup untuk dorong sylus menjauh lagi.
sehingga pengakuan zayne tidak datang dalam ucapan. tatapannya melembut, ia beranikan mengintip warna rubi yang masih berharap ada jawaban darinya.
pelan, tapi tidak lagi diselimuti ragu, ia kembalikan kekuatan jari-jarinya dalam genggaman sylus.
berbalik memberikan tekanan halus pada sisa-sisa jarak di sana, sambil biarkan kata maaf, aku selalu cinta kamu, aku tidak mau kita berpisah mengalir di sela-selanya.
dan di sanalah kalian akan temukan zayne dan sylus. berdiri di ujung dapur sebuah rumah yang baru ditinggali selama dua bulan lamanya, yang setiap sudutnya simpan sedih dan rindu yang tidak pernah sampai kepada tuannya. hingga hari ini, keheningan di antara mereka jadi tempat berlindung atas sebuah pesan yang tidak pernah jadi rahasia. bahwa mereka tetap dua hati yang, patah dan lebur sekalipun, tetap berdansa pada melodi yang sama.
"maukah kamu beri aku kesempatan untuk memulai semuanya lagi?"
anehnya, zayne tidak tahu siapa yang ucapkan itu. mungkin ia dengar kata-kata itu ditemani suara sylus yang tidak pernah berhenti untuk bawa seluruh aliran darah berlomba lari dari jantung ke wajah dan belakang telinganya.
atau dalam mimpi terindahnya, zayne berharap kalimat itu datang dari bibirnya.
sebuah pengakuan yang tidak lagi ditarik paksa darinya karena zayne ingin pastikan sylus terima semua rasa yang ia punya.
bermuara pada sebuah bisikan yang diucapkan sungguh-sungguh. dengan nadanya yang tidak lagi ragu-ragu, dengan mata hijaunya yang terlihat lebih kecoklatan karena tersipu malu.
.
.
