Work Text:
Jack hampir ketiduran di dalam taxi. Hampir. Bagian dalam jaketnya yang halus dan hangat hampir ngebuat Jack ngantuk. Hampir ngebuat badannya rileks. Hampir menggoda otaknya untuk istirahat. Tapi sekali lagi, cuma hampir.
Jalanan Tokyo mulus dan lancar, kontras sama aspal Suzuka yang lumayan terjal dan punya banyak tikungan yang terlalu tajam. Taxi yang dia naikin ngegas dan ngerem dengan halus, belok ke kanan dan ke kiri tanpa masalah. Kontras sama performencenya tiga hari kebelakang yang punya terlalu banyak masalah. Jauh dari kata normal. It was closer to a disaster than anything else.
Jack menghela napasnya berat.
Rasa ngantuk dan rileks yang tadi cuma hampir sekarang sepenuhnya hilang. Hatinya berat dan dadanya sesak. Otaknya masih yang ga berhenti muter rekaman kesalahan yang dia lakuin berulang. Terlalu bodoh. Terlalu konyol. Terlalu memalukan.
Jack harus dengan sadar nahan dirinya sendiri untuk ga jedotin kepalanya ke kaca jendela mobil. Tangannya mengepal kuat di balik kantong jaket sebagai gantinya. Satu helaan napas berat keluar lagi dari mulutnya. Kepalanya berdenyut sakit dari dalam. Dadanya makin sesak karena semua emosi yang beberapa hari dia tahan. Jack hampir bener-bener jedotin kepalanya sendiri ke kaca pas getaran handphone di celananya ngebangunin dia dari lamunan depresinya.
Jack menimbang dalam hati. Dia mengabaikan chat dari terlalu banyak orang tiga hari ini. Papanya, keluarganya. Flavio. Semua group chat profesional dan personal. Dan Liam.
Ada rasa bersalah di dadanya karena mengabaikan chat dari pacaranya. Jack tau komunikasi adalah kunci dari LDR. Tapi dia juga ga punya cukup banyak kapasitas mental untuk bisa berinteraksi sama Liam dengan normal.
Jarak hotelnya cuma tinggal beberapa blok. Jack mutusin dia akan bales semua chatnya nanti. Setelah sesi mandi air dingin yang panjang. Setelah tidur siang. Setelah hatinya cukup tenang untuk ga nangis atau marah ngebaca semua chat yang Jack udah bisa tebak isinya apa.
Later…
Dibales sekarang atau dua jam lagi juga ga ada bedanya.
Isi chat dan jawabannya masih sama.
Sama-sama mengecewakan.
Jack nyanderin kepalanya ke kaca jendela. Ngeliatin jalanan Tokyo yang teratur dengan isi otak dan hatinya yang berantakan.
The irony…
Jack tau ada yang salah dari detik pertama pintu kamar hotel dia buka.
Apa salah kamar?
Badan besarnya masih berdiri di ambang pintu. Matanya sibuk ngeliatin koper dan tas yang berceceran di lantai kamar. TV yang nampilin list film Disney. Dan ada suara shower yang nyala dari dalam sana.
Jack ngeliatin kartu kunci kamarnya di tangannya. Ngebandingin nomernya sama angka yang ada di depan pintu yang masih kebuka.
Bener ko 730… Apa resepsionisnya yang salah?
Jack udah hampir balik badan dan nutup pintu dengan pelan pas suara manis yang familiar masuk ke kupingnya,
“Cui! Ngapain lu berdiri di depan pintu?”
Dan pas Jack ngangkat kepalanya, Liam ada di sana. Di depan pintu kamar mandi yang sekarang kebuka. Berbalut bathrobe putih. Rambutnya basah dan mukanya merah.
Jack jadi makin bingung.
Apa dia ketiduran di taxi dan ini semua cuma mimpi?
Atau apa dia beneran jedotin kepalanya terlalu kenceng ke jendela mobil dan ini semua cuma halusinasi dari trauma otak?
Atau dia udah beneran gila karena keseringan nabrak barrier di Suzuka?
Karena Liam ada di dalam kamar hotel yang HARUSNYA adalah kamarnya, rasanya terlalu aneh untuk jadi kenyataan. Liam harusnya sekarang ada di Abu Dhabi, atau Milton Keynes, atau di Faenza. Atau di negara Kiwi liburan sama semua keponakan dan saudaranya. Liam harusnya ada entah dimana dan bukannya ada di dalem kamar hotelnya.
“Jack? Oi!..”
Sosok yang kaya Liam jalan mendekat. Jack ngerasa dia harus mundur satu langkah. Sepasang alis nukik turun di muka yang mirip Liam. Alis Jack ikutan ngelakuin hal yang sama.
“Kenapa dah lu? Otak lu beneran kena gara-gara nubruk di Suzuka?” Sepasang mata coklat kehijauan ngeliatin dia dengan khawatir.
Jack nelen ludahnya sendiri. Tiba-tiba gugup diliatin sosok yang mirip sama pacarnya. Dari jarak kurang dari dua meter Jack udah bisa nyium aroma sabun kesukaan Liam.
“Li—Liam?”
“Hmm..” Jawaban asal keluar dari sosok yang mirip Liam.
“Nga.. Ngapain di sini?”
“Dih kocak..” Sosok yang mirip Liam jalan mendekat lagi. Dan sebelum Jack bisa ngelangkah mundur, sepasang tangan udah melingkar di pundaknya. Pelukan yang hangatnya bisa Jack rasain meskipun dari balik jaketnya. Pelukan Liam. “Di sini karena mau ketemu kamu lah, Yang... Masa pengen ngeliat kampungnya Yuki.”
Kepala Liam bersandar di pundaknya. Tangan Liam melingkar di badannya, ngelus punggungnya pelan dari balik jaket. Badan Liam. Suara Liam. Wangi Liam.
Liam.
“Lu kalo ga bales meluk, gua tinggal balik ke Kiwi nih ya!”
Dan tangan Jack bergerak menglingkar secepat kilat di punggung Liam yang hangat. Jack ikut naruh mukanya di cekungan leher Liam. Menghirup banyak-banyak aroma manis maskulin yang dia selalu kangenin. Aroma yang menenangkan.
Untuk sesaat dunia rasanya berhenti berputar dan Jack bisa bernapas lagi. Semua sesak di dadanya perlahan hilang. Tergantikan rasa hangat badan Liam. Sakit kepalanya hilang. Semua lelahnya hilang tergantikan endorphine yang tiba-tiba datang dibawa oleh Liam.
Semua kegagalan dan penyesalan. Kekecewaan. Perlahan menghilang terhapus tangan Liam yang ngusap punggungnya pelan.
I’m home…
“Kamu udah medical check up kan, Yang?” Tanya Liam tiba-tiba.
Jack baru selesai mandi. Tangannya sibuk ngebuka kopernya untuk nyari baju ganti. “Udah.”
Tiga kali dalam tiga hari.
Liam masih setengah tiduran dengan santai di kasur, tapi Jack bisa ngerasain tatapan Liam tajam di punggungnya yang memar di beberapa bagian. “Ada masalah ga kata dokter?”
“Ada..” Jack ngambil kaos dan celana pendek hitam pertama yang dia liat. “Talent.”
I am the problem.
“Itu mah dari dulu, Yang.”
Jack nengok cepet ke arah Liam yang nyengir di tengah kasur. Ngeliatin Liam dengan tatapan sakit hati yang ga bisa Jack tutupin lagi.
Liam nyengir makin lebar. “Becanda, Sayang… Sini cuddle sama aku!” Liam nepuk kasur kosong di sebelahnya.
Jack mau pura-pura marah tapi mental dan badannya udah terlalu lelah. Dan Jack tau dia butuh Liam. Butuh disayang-sayang Liam. Jack menghela napas pelan, make bajunya dengan cepat sebelum ikut naik ke atas kasur.
Jack naruh kepalanya di lengan Liam yang terbuka. Nempelin mukanya ke dada Liam yang berbalut hoodie Red Bull, dia bisa denger detak jantung Liam yang pelan dan teratur. Tangannya otomatis meluk pinggang Liam di balik selimut. Hangat dan familiar.
Tangan Liam ngelus rambutnya pelan. Jack bergerak semakin mendekat ke Liam dan nutup matanya. Untuk pertama kalinya setelah tiga hari yang panjang, Jack ngerasa hatinya mulai tenang. Pelukan Liam ngebuat Jack ngerasa hidupnya baik-baik aja. Tanpa beban dan ekspetasi. Tenang.
Tapi ketenangannya ga bertahan lama karena tersadarkan realita. Liam. Liam ga seharusnya sekarang ada di sini. Liam harusnya sibuk dengan hidupnya sendiri. Sibuk dengan karirnya sendiri. Bukan di sini. Bukan di Jepang bersama Jack dan awal karir barunya yang menyedihkan.
“Ko kamu bisa dapet kunci kamar?” Suara Jack hampir sepenuhnya tenggelam di dada Liam.
“Kepo.” Jawab Liam tanpa jeda. Tangannya masih ngelus rambut Jack yang sekarang mulai panjang.
Jack nguatin pelukannya di pinggang Liam. “I miss you, Liam..”
“Baru juga berapa hari ga ketemu, Yang..”
“I miss you everyday…”
“Hilih!..”
Jack ngangkat kepalanya dari dada Liam. Mata birunya ketemu mata Liam yang terang. “Kenapa?”
“Mana ada orang kangen tapi ga bales chat?” Tanya Liam retoris. Mukanya cuek tapi Jack tau ada rasa sebel yang beneran di balik ekspersi Liam.
“I’m sorry, Liam. I just… overwhelmed.”
And too busy being miserable…
Liam ngeliatin dia dengan ekspresinya yang ga bisa Jack artiin. Liam dan isi otaknya yang cuma dia sendiri yang tau. Jack di masa lalu pasti akan mulai panik karena ngira Liam lagi menghakimi dia dalam hati. Tapi setelah hampir satu tahun mereka pacaran, Jack tau kalo Liam ga sejahat itu. Ga pernah sejahat itu.
Liam is all warm and soft in the inside. Those outside spikes exist only to scare off the wrong people. And Jack know it. Always knew it. His Liam is always full with love and care.
Sebuah kecupan mendarat di jidatnya sebelum Jack sadar. Bibir Liam yang lembut stay di sana lama. Cukup lama untuk Jack bisa nutup matanya dan nikmatin hembusan napas Liam yang hangat di atas jidatnya. Tangan Liam pindah dari rambut ke belakang lehernya, ngusap kulit di belakang kuping yang ngebuat Jack geli dan tenang di saat yang sama.
Jack berharap kecupan Liam di dijatnya akan bertahan selamanya, tapi Liam narik bibirnya dan senyum. Senyum manis yang lembut dan bukan seringai iseng Liam yang biasanya. Liam ga ngomong apa-apa dan cuma ngeliatin Jack lembut dari jarak yang dekat. Liam yang selalu ngomongin semua isi kepalanya tanpa ragu, selalu tau kapan waktu di mana Jack cuma butuh senyuman.
Hatinya lelah denger semua kata-kata dukungan dan harapan. Lebih lelah lagi denger semua hinaan dan kekecewaan. Jack lelah, dan senyuman Liam selalu ngebuat Jack sakan lepas dari penghakiman. Jack lelah dan pelukan Liam cukup untuk jadi tempatnya istirahat.
Liam. His Liam.
Jack fell in love all over again.
“Kenapa lu ngeliatin gua segitunya?” Senyuman Liam balik berubah jadi seringai isengnya yang biasa. And Jack also love it.
Everything about Liam is just, heart-stealing.
“I’m sorry…” Kata Jack pelan.
Cengiran Liam makin lebar. “Ganteng ya gua, sampe lu ga bisa—”
“I’m sorry, Liam…” Potong Jack. “I’m sorry for disappointing you…”
I should have been better.
I want to become someone who deserves to be with you.
Yet I failed.
Again and again.
Isi kepala Jack mulai berisik lagi.
“Ga ada yang lebih kecewa sama kamu daripada diri kamu sendiri, Yang..” Jari-jari Liam nyingkap rambutnya yang jatuh nutupin mata. Telapak tangan hangat stay di jidatnya seakan menggantikan bibir yang tadi ada di sana. Mata Liam yang cantik ngeliatin dia dengan tajam. “Ga ada yang lebih nyesel daripada diri kamu sendiri. Kamu ga perlu minta maaf sama aku, Jack.”
Tangan Liam pindah dari jidatnya ke pipinya. Jack bisa ngerasain rahangnya rileks di bawah sentuhan Liam.
“Tapi aku juga ngecewain kamu. I need to do well here, so I can be with you next—”
Kali ini Liam yang motong kata-katanya. Bibir Liam yang lembut ngelumat bibirnya pelan tanpa aba-aba. Jack yang masih ada di tengah-tengah insecurity-nya ragu apakah dia harus ngebales ciuman Liam atau menjauh. Half of him thought he didn’t deserve it, the other half demend he needed it.
“Stop mikir dan cium gua sekarang ya Gorila Ostrali!” Liam mendesis tanpa ngelepas bibirnya dari bibir Jack.
Jack nahan ketawanya dalam hati dan mulai ngebales ciuman dari pacarnya. Kecupan-kecupan ringan perlahan berubah jadi pangutan. Tangan Liam pindah lagi dari pipinya ke lehernya, ngelus lagi belakang kupingnya dengan lembut. Jack ngerasa badannya mulai panas. Pegangan tangannya di pinggang Liam menguat.
Lidah panas Liam yang ga sabaran mulai ngejilat bibirnya minta akses untuk masuk. Tapi Jack belum mau. Belum mau ngerubah suasana hangat ini jadi panas. Setengah hatinya masih ngerasa dia belum layak. Belum layak untuk Liam. Belum layak untuk nerima cinta dan kenikmatan dari Liam.
So he pulled away. Ngasih jarak di kedua badan mereka meskipun tangannya masih megang pinggang Liam dengan kuat.
Sepasang mata coklat kehijauan ngeliatin Jack dengan bete. “Kenapa lagi sih, Yang??”
Jack buang muka. Mata Liam yang hangat cuma ngebuat rasa bersalahnya makin besar.
I didn’t deserve you.
“Jack?”
I’m not enough. I watched you rise while I stayed where I was.
Always one step behind, no matter how hard I try.
I love you, but I don’t—
Kali ini yang Liam potong bukan cuma kata-katanya, tapi isi pikirannya. Karena tiba-tiba badan Liam ada di atas badannya. Duduk di atas perutnya. Mata Liam bercahaya ngeliatin dia dari atas.
Dari posisi ini Liam jadi keliatan makin cantik. Angkuh, tapi cantik.
Buat Jack, Liam dan arogansi adalah hal yang ga terpisahkan. Kadarnya mungkin kadang terlalu banyak buat sebagian orang, tapi buat Jack, Liam yang tau nilai dirinya sendiri adalah Liam yang mengagumkan.
Jari-jari Liam ngusap lagi pipi dan rahangnya. Jack nutup matanya pelan. Bersedia nerima apapun yang Liam kasih tanpa protes dan tuntutan.
Kecupan pertama mendarat di jidatnya lagi. Kecupan kedua mendarat di antara dua alisnya. Kecupan ketiga turun ke ujung hidung mancungnya. Jari-jari Liam masih belum berhenti ngelus kulitnya dengan lembut.
This side of Liam belongs only to Jack. His privilege. Jack didn’t earn this. Yet Liam chose to give it to him. His love and care. Kindness and understanding. Mercy.
Sesuatu yang Jack terima dari Liam secara cuma-cuma.
“Stop mikir, Sayang…”
Liam ngecup kedua kelopak matanya bergantian. Bibir lembut ngeraba kulit pipinya dan turun ke dagunya. Kecupan Liam bergerak di setiap centi rahangnya yang berbulu tipis. Jari-jari Liam ikut bergerak turun ke lehernya. Masuk ke kerah kaosnya dan mijet pundaknya pelan.
“Liamhh…” Jack mendesis karena ciuman Liam bergerak turun dari dagunya ke lehernya. Jack mulai ngerasa geli karena kecupan-kecupan kecil Liam di jakunnya.
Tangan Jack ikut masuk ke dalam kaos Liam. Kulit Liam rasanya panas di bawah telapak tangannya. Jari-jari panjangnya bergerak di otot abs Liam yang keras.
“Jackh…” Liam berbisik di depan kupingnya. “It’s fine… You’ll do better next time.” Tangan Liam bergerak masuk lebih dalam di kaosnya. Jari jempol Liam mijet area tulang selangkanya yang tegang. “I know you can do it, Yang…” Liam ngecup pipi kirinya singkat. “Jangan overthinking…” Kecupan berikutnya datang di pipi kanannya. “I love you, Sayang…”
Bibir Liam bergerak ngeraba mukanya. Napas Liam yang hangat seakan berbekas di seluruh muka Jack. Bibir Liam berhenti tepat di atas bibirnya. Ga cukup dekat untuk bisa disebut sebuah ciuman, tapi cukup dekat untuk hidung mereka bersentuhan.
Jack ngebuka matanya. Mata coklat kehijauan ngeliatin mata birunya dengan hangat dari jarak yang terlalu dekat. Intim.
Kadang Jack ngerasa situasi kaya gini lebih memuaskan dari sex. Situasi di mana Liam bisa tanpa malu ngasih liat Jack sisi lembutnya. Situasi di mana Liam jadi sosok yang dewasa dan nenangin Jack yang sering kalut sendirian.
Liam yang kata orang terlalu arogan. Liam yang kata orang mengecewakan. Liam yang kata orang belum matang. Adalah Liam yang sempurna menurut Jack Doohan.
Jack bertanya-tanya dalam hati apakah Liam juga ngeliat dirinya dengan kacamata yang sama. Apakah Liam juga ngeliat dirinya seakan sempurna? Apakah Liam juga mencintai dia apa adanya?
Tangan Liam masih belum berhenti ngasih pundak Jack pijatan-pijatan pelannya.
“Why?… Why haven’t you given up on me, Liam?”
Senyum tipis muncul di bibir Liam sebelum kecupan kecil mendarat di sudut bibirnya.
“Because I see the best of you, even when you don’t, Dumbass!”
Liam ngecup sudut lain di bibirnya dengan sama lembutnya.
“What do you see in me that I can’t see myself?”
“Everything, Jack… Everything…”
Dan Liam ngunci bibirnya dengan sebuah ciuman sebelum pertanyaan-pertanyaan lain bisa keluar dari bibirnya. Bibir Liam yang lembut bergerak di atas bibirnya dengan cara yang Jack suka. Comforting. Reassuring. Sweetly devastating.
Kali ini Jack buka mulutnya tanpa perlu Liam pancing. Lidahnya bergerak lebih dulu nyapu bibir Liam yang lembut. Menyusup masuk ke dalam mulut Liam yang tanpa pertahanan. Ciuman mereka dalam tapi tanpa tuntutan. Jack bisa tau bedanya. Bisa ngerasain gimana lidah dan bibir Liam bergerak tapi bukan cuma karena nafsu.
Jack could feel Liam’s love. Liam’s care and understanding.
Dan Jack perlahan tenggelam di dalamnya. Terbawa arus ciuman Liam yang menenangkan.
Lagi-lagi dunia seakan berhenti berputar.
Otak Jack kosong tanpa harapan dan penyesalan. Pundak Jack rileks tanpa beban. Hati Jack penuh rasa cinta dan kasih sayang. Semua perasaan negatif yang tertumpuk selama tiga hari, bisa dihilangkan dengan 30 menit kehadiran Liam di hidupnya.
Liam dan kehangatannya. Liam dan pengertiannya. Liam yang percaya. Liam yang ngeliat semuanya dari dirinya yang Jack sendiri ga bisa liat.
Liam dan cintanya.
Liam narik bibirnya dari lumatan Jack untuk ngambil napas. Mata Liam yang cantik ngeliatin lagi dia dari atas dengan sayu.
“Yang…” Liam manggil dengan suaranya yang lembut dan manis. Panggilan sayang yang khusus buat Jack seorang.
Jack ngeluarin tangan kanannya dari balik kaos Liam dan ngelus lembut pipi Liam yang merona. “Yes, Liam…”
“Ada yang sakit ga badannya?”
“Ga ada, Sayang.. I’m fine…”
Senyum Liam yang lembut berubah jadi seringai nakalnya. Jack bisa tau apa artinya dari sebelum Liam buka mulutnya. “Tuker posisi kalo gitu, Yang. Kamu di atas. Aku mager.”
Kali ini Jack ga bisa nyembunyiin ketawanya di dada. Liam yang jujur dan apa adanya ga pernah gagal ngebuat Jack bahagia dan jatuh cinta.
“Kamu kan lagi menghibur aku, Liam. Take care of me dong, Sayang…”
“Dih mager banget. Kamu yang harusnya ngeservice aku. Bisa-bisanya lu udah ga bales chat berhari-hari terus minta di service.”
Jack ketawa lagi. Ketawa lepas pertamanya setelah berhari-hari. Kebahagiaan pertamanya setelah berhari-hari. Dan juga ketenangan pertamanya setelah berhari-hari. Semua datang bersama dengan sosok Liam.
Jack ngebalik posisi mereka dengan satu gerakan tanpa kesulitan. Liam sekarang ada di bawahnya. Masih dengan seringai nakalnya. Masih dengan mata cantik dan suara manisnya.
“Awas ya kamu protes kalo aku mainnya kelamaan!” Jack berusaha niru nada Liam kalo lagi ngancem. Failed miserably. Karena Liam bukannya ngerasa terancam tapi malah ketawa di bawah kungkungan badannya. Suara ketawa yang lebih membahagiakan dari apapun juga buat Jack.
“Pede gila lu, Bang. Buktiin aja dulu jangan banyak ngemeng.” Mata Liam berkilat makin nakal. “Awas aja lu di kasur juga nubruk-nubruk kaya di Suzuka!”
Kali ini Jack bisa ikutan ketawa denger ledekan Liam. His wound no longer hurt, Liam kissed it better.
“I will, Sayang… Aku akan nabrak prostat kamu kuat-kuat berulang kali sampe kamu ga bisa ngeledekin aku lagi.”
Dan tawa adalah hal terakhir yang keluar dari mulut mereka berdua sebelum berganti jadi desahan dan erangan yang ga selesai untuk waktu yang lama.
